Diskusi Film "Schindler's List"

Schindler’s List adalah film karya Steven Spielberg yang mengangkat kisah nyata Oskar Schindler, seorang pengusaha Katolik Jerman yang hidup pada masa kekuasaan Nazi di Perang Dunia II. Pada awalnya, Schindler digambarkan sebagai oportunis yang memanfaatkan situasi perang untuk keuntungan pribadi. Ia membuka pabrik di Kraków dan mempekerjakan buruh Yahudi karena biaya tenaga kerja yang murah, serta menjalin hubungan dekat dengan perwira-perwira Nazi melalui suap dan perjamuan mewah.

Perlahan, Schindler mulai menyaksikan sendiri kebrutalan rezim Nazi terhadap orang Yahudi dari pemindahan paksa ke ghetto, penyiksaan, hingga pembunuhan massal di kamp konsentrasi. Realitas mengerikan ini mengguncang nuraninya dan memunculkan konflik batin yang mendalam. Ia pun mulai menggunakan pengaruh dan kekayaannya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, dengan memasukkan para pekerja Yahudi ke dalam “daftar” khusus agar terhindar dari deportasi dan kematian. “Daftar” khusus tersebut mengacu pada daftar nama 1.100 orang yang diselamatkan oleh Schindler, termasuk Itzhak Stern, seorang akuntan kebangsaan Yahudi yang selama ini membantu bisnisnya.

Film ini menghadirkan dilema moral yang rumit: Schindler menyuap, memanipulasi, bahkan berbohong kepada otoritas Nazi, tindakan yang secara hukum dan norma sosial bisa dianggap tidak etis. Namun, tindakan-tindakan ini justru menjadi cara utama untuk menyelamatkan manusia dari genosida. Penonton diajak mempertanyakan: apakah etika hanya bergantung pada aturan dan proses, ataukah hasil akhir, seperti menyelamatkan nyawa, dapat menjadi dasar pembenaran moral?

Kisah Schindler membuka ruang refleksi tentang bagaimana seseorang merespons ketidakadilan dalam sistem yang bengkok secara moral. Ia tidak sempurna, tetapi keberaniannya untuk bertindak secara tidak konvensional demi nilai kemanusiaan menantang cara kita memahami tanggung jawab moral. Film ini pun menjadi pintu masuk untuk mengeksplorasi pandangan etika normatif dan menilai apakah tindakannya layak dibenarkan secara etis.


PEMBAHASAN

Oskar seorang Katolik, tetapi ia berbohong dan menyogok Nazi untuk mempekerjakan Yahudi di pabriknya. Bagaimana perbuatan Oskar dinilai secara etis?

Tindakan Oskar Schindler dalam film Schindler’s List merupakan contoh nyata dari dilema etis yang kompleks. Sebagai seorang Katolik, nilai-nilai moral yang Ia anut tentu melarang tindakan seperti berbohong dan menyuap. Secara prinsip, ajaran agama dan juga etika deontologis menganggap tindakan tersebut sebagai kesalahan moral, tanpa memandang niat atau akibatnya. Namun, konteks yang melatarbelakangi tindakan Schindler tidak bisa diabaikan. Ia melakukan kebohongan dan menyogok bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan sebagai strategi untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang Yahudi dari pembunuhan massal oleh rezim Nazi. 

Dalam situasi seperti Holocaust, dimana hukum dan moralitas publik dikuasai oleh kekejaman. Tindakan melawan sistem secara tersembunyi bisa menjadi satu-satunya cara mempertahankan kemanusiaan. Dari sudut pandang etika utilitarian, perbuatannya dapat dibenarkan karena menghasilkan dampak positif yang besar, yaitu menyelamatkan lebih dari seribu nyawa. Bahkan dari perspektif etika kebajikan, Oskar menunjukkan karakter moral yang berkembang: dari seorang oportunis menjadi sosok penuh belas kasih dan keberanian. Maka, meskipun cara yang Ia tempuh melanggar norma formal, secara etis tindakan Oskar Schindler layak dinilai sebagai perbuatan bermoral karena didorong oleh niat mulia dan menghasilkan dampak kemanusiaan yang besar.


Etika normatif manakah yang dapat membenarkan hal yang dipersoalkan dalam film ini?

Etika keutamaan atau virtue ethics berfokus pada pembentukan karakter moral yang baik (baik dalam hati maupun dalam tindakan), bukan sekadar aturan atau konsekuensi tindakan. Inti dari etika ini adalah, “What kind of person should I be?”, dan bukan “Apa yang seharusnya saya lakukan?” seperti dalam pendekatan deontologis dan utilitarian. Film ini secara jelas mengeksplorasi transformasi karakter Oskar Schindler dari seorang oportunis yang memanfaatkan perang untuk meraup keuntungan, menjadi seorang manusia yang mengembangkan keutamaan moral mendalam. Keutamaan seperti belas kasih (compassion), keberanian (courage), dan keadilan (justice) secara bertahap tumbuh dalam dirinya, mendorong tindakannya menyelamatkan nyawa. Dalam kacamata etika keutamaan, Oskar Schindler menunjukkan bahwa karakter baik bukanlah sesuatu yang statis atau bawaan sejak lahir, melainkan sesuatu yang bisa dibentuk dan dikembangkan melalui proses hidup, pengalaman, serta refleksi atas tindakan sendiri.  

Dalam film Schindler’s List, Schindler menghadapi dilema moral yang sangat besar,yakni ‘apakah ia akan terus mencari keuntungan di tengah perang dan penderitaan, ataukah ia akan mengorbankan kekayaan, status, dan bahkan keselamatannya sendiri untuk menyelamatkan nyawa orang lain’. Dilema ini menjadi titik balik dalam perkembangan karakternya. Awalnya ia bukanlah sosok yang tampak bermoral. Ia adalah pebisnis yang haus akan kekayaan dan kekuasaan. Namun seiring waktu, ia mulai menunjukkan kebajikan yang sesungguhnya seperti belas kasih, keberanian moral, dan keadilan.

Keputusannya untuk membuat “daftar Schindler”, yaitu daftar pekerja Yahudi yang ingin ia selamatkan dari kamp konsentrasi, adalah wujud nyata dari tindakan yang dilandasi oleh kebajikan (virtue-based action). Tindakan ini bukan didorong oleh kewajiban hukum atau hitungan untung-rugi, melainkan oleh pertumbuhan empati dan tanggung jawab moral dari dalam dirinya. Dalam etika keutamaan, tindakan yang baik muncul secara alami dari pribadi yang baik, dan inilah yang terjadi pada Schindler.

Lebih dalam lagi, di akhir cerita, Schindler tidak membanggakan dirinya, melainkan merasa bersalah karena tidak dapat menyelamatkan lebih banyak orang. Ia melihat jas dan mobilnya dan menangis karena merasa bahwa benda-benda itu seharusnya bisa ditukar dengan satu atau dua nyawa lagi. Reaksi emosional ini mencerminkan kedalaman hati nurani, integritas moral, dan karakter yang telah berubah secara utuh. Dalam istilah etika keutamaan, ia telah menjadi seorang pribadi yang telah menghayati nilai-nilai kebaikan dan hidup secara eudaimonistic, yaitu mengejar kehidupan yang penuh makna melalui kebajikan.

Etika konsekuensialis adalah cabang dari etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini, tindakan dianggap bermoral jika membawa manfaat terbesar atau mengurangi penderitaan sebanyak mungkin. Bentuk paling terkenal dari pendekatan ini adalah utilitarianisme, sebagaimana dirumuskan oleh tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang mengedepankan prinsip “the greatest good for the greatest number” kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.

Jika kita menerapkan prinsip etika konsekuensialis terhadap film Schindler’s List, maka tindakan Oskar Schindler bisa dikategorikan sebagai tindakan yang sangat bermoral. Meski secara formal ia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma hukum dan etika konvensional seperti menyuap pejabat Nazi, memalsukan data, serta berbohong semua itu dilakukan demi konsekuensi akhir yang luar biasa penting: menyelamatkan lebih dari 1.000 nyawa orang Yahudi dari genosida sistematis. Dalam pendekatan ini, proses yang tampak tidak etis dapat diterima dan bahkan dianggap bermoral selama membawa hasil akhir yang menguntungkan secara luas dan signifikan.

Dalam perspektif utilitarianisme, pengorbanan pribadi Oskar Schindler baik dalam bentuk harta kekayaan, kenyamanan hidup, maupun reputasi bisnisnya adalah bentuk kepahlawanan moral karena tindakannya secara nyata memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan banyak orang. Hal ini tercermin secara emosional dalam adegan klimaks ketika Schindler menangis karena merasa bahwa ia masih bisa menyelamatkan lebih banyak orang jika menjual barang-barang berharganya yang tersisa. Kesadaran mendalam itu mencerminkan sensibilitas moral terhadap nilai setiap individu dan terhadap potensi kebaikan yang belum tercapai suatu nilai yang dijunjung tinggi dalam konsekuensialisme.

Dengan demikian, etika konsekuensialis membenarkan tindakan-tindakan Oskar Schindler karena fokus utamanya adalah pada hasil akhir yang nyata dan berskala besar: menyelamatkan kehidupan dan meminimalkan penderitaan. Dalam situasi ekstrim seperti Holocaust, ketika hukum formal justru berperan sebagai alat kejahatan, tindakan-tindakan luar biasa yang dilakukan Schindler melalui cara-cara tidak konvensional justru menjadi sangat sah secara moral. Prinsip ini membuktikan bahwa dalam kerangka etika konsekuensialis, kebaikan hasil dapat membenarkan dan bahkan mengharuskan terjadinya pelanggaran norma konvensional.


Apakah etika deontologis (non-konsekuensialis) cocok untuk menilai tindakan Oskar (menyogok tapi menyelamatkan)?

Dari perspektif etika deontologis,sebuah pendekatan moral yang dikembangkan oleh tokoh seperti Immanuel Kant, moralitas suatu tindakan dinilai berdasarkan kewajiban, prinsip, dan aturan moral yang melekat pada tindakan itu sendiri, bukan berdasarkan hasil atau konsekuensinya. Artinya, suatu tindakan dianggap benar atau salah secara intrinsik, terlepas dari niat baik atau dampak positif yang mungkin ditimbulkan. Dalam konteks ini, tindakan Oskar Schindler yang menggunakan cara-cara seperti menyuap pejabat Nazi, memalsukan dokumen, dan berbohong demi menyelamatkan lebih dari seribu orang Yahudi, akan dinilai bermasalah secara moral. Menurut etika deontologis, tindakan seperti menyuap dan berbohong tetap dikategorikan salah karena melanggar prinsip moral universal seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hukum, bahkan jika dilakukan dengan niat menyelamatkan. Prinsip utama dalam deontologi menyatakan bahwa “tujuan tidak membenarkan cara,” sehingga tindakan curang atau tidak etis tetap tidak dapat dibenarkan meski hasil akhirnya menyelamatkan nyawa.

Namun, menyelamatkan nyawa manusia juga merupakan kewajiban moral yang sangat fundamental dalam kerangka deontologis. Dalam kasus Schindler, ia dihadapkan pada konflik antara dua kewajiban moral: kewajiban untuk berkata jujur dan menaati hukum, versus kewajiban untuk melindungi nyawa manusia. Masalah muncul karena dalam etika deontologis, dua tindakan yang saling bertentangan tidak bisa dibenarkan satu sama lain, bahkan jika salah satunya dilakukan demi memenuhi kewajiban lain yang lebih mendesak. Oleh sebab itu, penerapan etika deontologis dalam menilai tindakan Schindler menjadi sangat kompleks dan cenderung tidak memadai, karena tidak mampu mengakomodasi dilema moral yang melibatkan pengorbanan norma demi menyelamatkan hidup orang lain.


Kisah dalam Schindler’s List menggambarkan bahwa tindakan bermoral tidak selalu identik dengan kepatuhan terhadap hukum atau norma sosial yang berlaku, terlebih dalam situasi ekstrem seperti Holocaust. Oskar Schindler menjadi contoh nyata dari dilema etika yang kompleks. Ia melakukan tindakan yang secara normatif salah, seperti menyuap dan berbohong, namun dengan tujuan menyelamatkan nyawa. Jika dilihat dari sudut pandang etika utilitarian dan keutamaan, tindakan-tindakannya justru mencerminkan keberanian, empati, dan tanggung jawab moral yang tinggi.

Transformasi karakter Schindler dari seorang pengusaha oportunis menjadi sosok yang rela berkorban demi orang lain menunjukkan bahwa nilai-nilai moral dapat tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan kembali makna tanggung jawab etis, terutama ketika dihadapkan pada sistem yang tidak manusiawi. Schindler’s List bukan hanya sebuah kisah sejarah, melainkan juga sebuah pelajaran moral tentang keberanian untuk memilih yang benar, bahkan ketika jalan itu tidak sesuai dengan aturan yang ada.


Kelompok Justitia:

  • Hengky Wijaya

  • Nazla Maharani

  • Rexana Tannia

  • Valeria Firshla Karya

  • Vincent Hendryan

Comments